WHAT’S HOT NOW

ads header

Rabu, September 17, 2025

Esai Analitis dengan Nuansa Ilmiah Populer

Oleh: Thesalonicha Melisa Eman

Winner Putri Duta Kesehatan Sulut 2025


Gadget dan Kesehatan Anak di Era Digital: Analisis Risiko dan Solusi


PERKEMBANGAN teknologi digital di Sulawesi Utara telah menunjukkan peningkatan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Data dari Dinas Kominfo Sulut (2023) mencatat bahwa penetrasi smartphone mencapai 75% di wilayah urban dan 45% di daerah pedesaan. Survei Kesehatan Provinsi Sulawesi Utara (2023) mengungkapkan bahwa 78% anak usia sekolah di Manado telah menggunakan gadget secara rutin, dengan rata-rata screen time 3,5 jam per hari.  


Era digital yang berkembang pesat telah menjadikan gadget sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, termasuk bagi anak-anak. Perangkat seperti smartphone, tablet, dan laptop menawarkan akses tak terbatas terhadap informasi, sumber edukasi, dan hiburan, sehingga sering dilihat sebagai alat yang mendukung proses belajar dan pertumbuhan. 


Namun, di balik manfaat tersebut, terdapat ancaman serius terhadap kesehatan anak yang harus diwaspadai. Penggunaan gadget yang berlebihan dan tanpa pengawasan telah memunculkan berbagai masalah kesehatan fisik, mental, dan sosial yang didukung oleh temuan-temuan ilmiah terkini. Oleh karena itu, esai ini akan menganalisis risiko-risiko kesehatan yang dihadapi anak akibat penggunaan gadget serta menawarkan solusi yang konkret dan aplikatif untuk meminimalkan dampak negatifnya.


Dari segi kesehatan fisik, paparan berlebihan terhadap layar gadget dapat menyebabkan berbagai gangguan yang signifikan. Computer Vision Syndrome atau Digital Eye Strain adalah kondisi yang umum dijumpai, dengan gejala seperti mata lelah, pandangan kabur, kekeringan pada mata, dan sakit kepala. 


Sebuah studi dalam Journal of Pediatric Ophthalmology and Strabismus (2019) menemukan korelasi positif antara durasi screen time dengan keluhan kelelahan mata pada anak sekolah. Selain itu, sinar biru yang dipancarkan layar diduga kuat mengganggu produksi melatonin, hormon yang mengatur tidur, sehingga berpotensi menyebabkan insomnia dan penurunan kualitas tidur. 


Masalah muskuloskeletal juga tidak boleh diabaikan; postur tubuh yang buruk selama menggunakan gadget, seperti menunduk terlalu lama, dapat memicu nyeri leher, bahu, dan punggung. Riset dalam Journal of Physical Therapy Science (2017) menunjukkan bahwa anak-anak dengan kebiasaan menggunakan perangkat elektronik portabel cenderung mengalami perubahan postur dan peningkatan keluhan nyeri otot. 


Belum lagi risiko obesitas yang mengintai akibat gaya hidup sedentari, dimana waktu yang dihabiskan untuk duduk dan menatap layar mengurangi kesempatan anak untuk beraktivitas fisik secara memadai.Risiko terhadap kesehatan mental dan perkembangan kognitif anak juga sangat mengkhawatirkan. 


Interaksi melalui layar tidak mampu menggantikan kompleksitas hubungan sosial langsung, sehingga anak yang terlalu bergantung pada gadget berisiko mengalami keterlambatan dalam mengembangkan keterampilan sosial, empati, dan kemampuan membaca emosi orang lain. 


Sebuah studi longitudinal yang dipublikasikan dalam JAMA Pediatrics (2019) melaporkan bahwa screen time yang tinggi pada anak usia dini berkorelasi dengan performa yang lebih buruk dalam tes perkembangan. Selain itu, adiksi terhadap gadget mulai diakui sebagai masalah serius; anak dapat menunjukkan gejala ketergantungan seperti mudah marah, gelisah, dan menarik diri dari lingkungan sosial ketika tidak diizinkan menggunakan perangkatnya. 


Perilaku impulsif dan kesulitan mengendalikan diri juga sering dikaitkan dengan penggunaan gadget yang tidak terkendali. Media sosial dan platform digital lainnya turut memperburuk kondisi ini dengan memicu perbandingan sosial tidak sehat, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kecemasan, depresi, dan penurunan harga diri, terutama pada anak yang memasuki masa remaja.


Di samping risiko fisik dan mental, anak juga menghadapi ancaman dari konten yang tidak sesuai serta bahaya psikososial di dunia digital. Tanpa pengawasan yang memadai, anak dapat dengan mudah terpapar konten kekerasan, ujaran kebencian, ataupun materi eksploitasi yang dapat memengaruhi perkembangan psikologisnya. 


Paparan konten kekerasan secara berulang telah terbukti menurunkan sensitivitas anak terhadap agresi dan meningkatkan kecenderungan perilaku agresif. Cyberbullying merupakan ancaman lain yang semakin marak; korban bullying daring seringkali mengalami trauma emosional yang mendalam, yang dalam beberapa kasus berujung pada isolasi sosial bahkan pikiran untuk menyakiti diri sendiri. 


Orang tua dan pengasuh seringkali tidak menyadari bahwa anak mereka terlibat dalam situasi berbahaya tersebut, mengingat dunia digital memberikan ruang yang begitu luas dan seringkali sulit diawasi sepenuhnya.Menghadapi berbagai risiko tersebut, langkah solutif harus diambil secara komprehensif dan kolaboratif. 


Peran orang tua merupakan kunci utama dalam menerapkan pola pengasuhan digital yang sehat dan bertanggung jawab. Hal ini dapat diwujudkan dengan menetapkan aturan yang jelas mengenai durasi screen time, menetapkan waktu dan zona bebas gadget di rumah, serta senantiasa mendampingi anak saat menggunakan perangkat digital. 



Pendampingan aktif tidak hanya memastikan anak mengakses konten yang aman dan edukatif, tetapi juga menjadi kesempatan bagi orang tua untuk berinteraksi dan membangun ikatan yang lebih kuat dengan anak. Selain itu, orang tua harus menjadi contoh yang baik dalam penggunaan teknologi, karena anak cenderung meniru perilaku pengasuhnya. 



Komunikasi terbuka tentang keamanan berinternet, privasi, dan etika digital juga perlu dibangun sejak dini.Selain peran keluarga, sekolah dan institusi pendidikan juga memiliki tanggung jawab besar dalam melindungi anak dari dampak negatif gadget. Sekolah dapat mengintegrasikan kurikulum literasi digital yang tidak hanya fokus pada keterampilan teknis, tetapi juga pada pemahaman tentang keamanan online, etika berdigital, dan kesehatan mental. 


Guru dan tenaga kependidikan perlu diedukasi untuk mampu mengenali tanda-tanda anak yang mengalami adiksi gadget atau menjadi korban cyberbullying. Kebijakan sekolah mengenai penggunaan gadget selama jam belajar juga harus dirumuskan dengan jelas dan diterapkan secara konsisten. 


Di sisi lain, pemerintah dan regulator perlu turun tangan dengan membuat kebijakan yang melindungi anak dari konten berbahaya, serta mendorong platform digital untuk menyediakan fitur parental control yang lebih efektif dan mudah diakses.


Pada akhirnya, menciptakan lingkungan yang sehat bagi anak di era digital memerlukan keseimbangan antara memanfaatkan teknologi dan menjaga kesejahteraan fisik serta mental anak. 


Orang tua dan sekolah perlu proaktif dalam menyediakan alternatif kegiatan yang menarik, seperti olahraga, seni, membaca, dan aktivitas luar ruangan, sehingga anak tidak sepenuhnya bergantung pada gadget untuk memperoleh hiburan. 


Dengan pendekatan yang bijaksana dan penuh kesadaran, gadget dapat tetap menjadi alat yang bermanfaat tanpa mengorbankan kesehatan dan perkembangan anak.(**)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berita Utama

5
» » Esai Analitis dengan Nuansa Ilmiah Populer

Oleh: Thesalonicha Melisa Eman

Winner Putri Duta Kesehatan Sulut 2025


Gadget dan Kesehatan Anak di Era Digital: Analisis Risiko dan Solusi


PERKEMBANGAN teknologi digital di Sulawesi Utara telah menunjukkan peningkatan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Data dari Dinas Kominfo Sulut (2023) mencatat bahwa penetrasi smartphone mencapai 75% di wilayah urban dan 45% di daerah pedesaan. Survei Kesehatan Provinsi Sulawesi Utara (2023) mengungkapkan bahwa 78% anak usia sekolah di Manado telah menggunakan gadget secara rutin, dengan rata-rata screen time 3,5 jam per hari.  


Era digital yang berkembang pesat telah menjadikan gadget sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, termasuk bagi anak-anak. Perangkat seperti smartphone, tablet, dan laptop menawarkan akses tak terbatas terhadap informasi, sumber edukasi, dan hiburan, sehingga sering dilihat sebagai alat yang mendukung proses belajar dan pertumbuhan. 


Namun, di balik manfaat tersebut, terdapat ancaman serius terhadap kesehatan anak yang harus diwaspadai. Penggunaan gadget yang berlebihan dan tanpa pengawasan telah memunculkan berbagai masalah kesehatan fisik, mental, dan sosial yang didukung oleh temuan-temuan ilmiah terkini. Oleh karena itu, esai ini akan menganalisis risiko-risiko kesehatan yang dihadapi anak akibat penggunaan gadget serta menawarkan solusi yang konkret dan aplikatif untuk meminimalkan dampak negatifnya.


Dari segi kesehatan fisik, paparan berlebihan terhadap layar gadget dapat menyebabkan berbagai gangguan yang signifikan. Computer Vision Syndrome atau Digital Eye Strain adalah kondisi yang umum dijumpai, dengan gejala seperti mata lelah, pandangan kabur, kekeringan pada mata, dan sakit kepala. 


Sebuah studi dalam Journal of Pediatric Ophthalmology and Strabismus (2019) menemukan korelasi positif antara durasi screen time dengan keluhan kelelahan mata pada anak sekolah. Selain itu, sinar biru yang dipancarkan layar diduga kuat mengganggu produksi melatonin, hormon yang mengatur tidur, sehingga berpotensi menyebabkan insomnia dan penurunan kualitas tidur. 


Masalah muskuloskeletal juga tidak boleh diabaikan; postur tubuh yang buruk selama menggunakan gadget, seperti menunduk terlalu lama, dapat memicu nyeri leher, bahu, dan punggung. Riset dalam Journal of Physical Therapy Science (2017) menunjukkan bahwa anak-anak dengan kebiasaan menggunakan perangkat elektronik portabel cenderung mengalami perubahan postur dan peningkatan keluhan nyeri otot. 


Belum lagi risiko obesitas yang mengintai akibat gaya hidup sedentari, dimana waktu yang dihabiskan untuk duduk dan menatap layar mengurangi kesempatan anak untuk beraktivitas fisik secara memadai.Risiko terhadap kesehatan mental dan perkembangan kognitif anak juga sangat mengkhawatirkan. 


Interaksi melalui layar tidak mampu menggantikan kompleksitas hubungan sosial langsung, sehingga anak yang terlalu bergantung pada gadget berisiko mengalami keterlambatan dalam mengembangkan keterampilan sosial, empati, dan kemampuan membaca emosi orang lain. 


Sebuah studi longitudinal yang dipublikasikan dalam JAMA Pediatrics (2019) melaporkan bahwa screen time yang tinggi pada anak usia dini berkorelasi dengan performa yang lebih buruk dalam tes perkembangan. Selain itu, adiksi terhadap gadget mulai diakui sebagai masalah serius; anak dapat menunjukkan gejala ketergantungan seperti mudah marah, gelisah, dan menarik diri dari lingkungan sosial ketika tidak diizinkan menggunakan perangkatnya. 


Perilaku impulsif dan kesulitan mengendalikan diri juga sering dikaitkan dengan penggunaan gadget yang tidak terkendali. Media sosial dan platform digital lainnya turut memperburuk kondisi ini dengan memicu perbandingan sosial tidak sehat, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kecemasan, depresi, dan penurunan harga diri, terutama pada anak yang memasuki masa remaja.


Di samping risiko fisik dan mental, anak juga menghadapi ancaman dari konten yang tidak sesuai serta bahaya psikososial di dunia digital. Tanpa pengawasan yang memadai, anak dapat dengan mudah terpapar konten kekerasan, ujaran kebencian, ataupun materi eksploitasi yang dapat memengaruhi perkembangan psikologisnya. 


Paparan konten kekerasan secara berulang telah terbukti menurunkan sensitivitas anak terhadap agresi dan meningkatkan kecenderungan perilaku agresif. Cyberbullying merupakan ancaman lain yang semakin marak; korban bullying daring seringkali mengalami trauma emosional yang mendalam, yang dalam beberapa kasus berujung pada isolasi sosial bahkan pikiran untuk menyakiti diri sendiri. 


Orang tua dan pengasuh seringkali tidak menyadari bahwa anak mereka terlibat dalam situasi berbahaya tersebut, mengingat dunia digital memberikan ruang yang begitu luas dan seringkali sulit diawasi sepenuhnya.Menghadapi berbagai risiko tersebut, langkah solutif harus diambil secara komprehensif dan kolaboratif. 


Peran orang tua merupakan kunci utama dalam menerapkan pola pengasuhan digital yang sehat dan bertanggung jawab. Hal ini dapat diwujudkan dengan menetapkan aturan yang jelas mengenai durasi screen time, menetapkan waktu dan zona bebas gadget di rumah, serta senantiasa mendampingi anak saat menggunakan perangkat digital. 



Pendampingan aktif tidak hanya memastikan anak mengakses konten yang aman dan edukatif, tetapi juga menjadi kesempatan bagi orang tua untuk berinteraksi dan membangun ikatan yang lebih kuat dengan anak. Selain itu, orang tua harus menjadi contoh yang baik dalam penggunaan teknologi, karena anak cenderung meniru perilaku pengasuhnya. 



Komunikasi terbuka tentang keamanan berinternet, privasi, dan etika digital juga perlu dibangun sejak dini.Selain peran keluarga, sekolah dan institusi pendidikan juga memiliki tanggung jawab besar dalam melindungi anak dari dampak negatif gadget. Sekolah dapat mengintegrasikan kurikulum literasi digital yang tidak hanya fokus pada keterampilan teknis, tetapi juga pada pemahaman tentang keamanan online, etika berdigital, dan kesehatan mental. 


Guru dan tenaga kependidikan perlu diedukasi untuk mampu mengenali tanda-tanda anak yang mengalami adiksi gadget atau menjadi korban cyberbullying. Kebijakan sekolah mengenai penggunaan gadget selama jam belajar juga harus dirumuskan dengan jelas dan diterapkan secara konsisten. 


Di sisi lain, pemerintah dan regulator perlu turun tangan dengan membuat kebijakan yang melindungi anak dari konten berbahaya, serta mendorong platform digital untuk menyediakan fitur parental control yang lebih efektif dan mudah diakses.


Pada akhirnya, menciptakan lingkungan yang sehat bagi anak di era digital memerlukan keseimbangan antara memanfaatkan teknologi dan menjaga kesejahteraan fisik serta mental anak. 


Orang tua dan sekolah perlu proaktif dalam menyediakan alternatif kegiatan yang menarik, seperti olahraga, seni, membaca, dan aktivitas luar ruangan, sehingga anak tidak sepenuhnya bergantung pada gadget untuk memperoleh hiburan. 


Dengan pendekatan yang bijaksana dan penuh kesadaran, gadget dapat tetap menjadi alat yang bermanfaat tanpa mengorbankan kesehatan dan perkembangan anak.(**)

«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Leave a Reply